Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

pertanian berkelanjutan_M.Akbar Fathan_12914_B1

Model sistem pertanian berkelanjutan
Konsep sistem pertanian organik sudah sering dibahas pada berbagai pertemuan ilmiah, misalnya seminar, lokakarya, dan sarasehan, yang menggunakan tajuk pertanian organic atau pertanian ramai lingkungan. Secara teoritis banyak pakar pertanian atau ekologi yang sepaham bahwa sistem pertanian organik merupakan salah satu alternative solusi atas kegagalan sistem pertanian industrial.
Suatu tantangan bagi bangsa kita,mengapa wacana sistem pertanian organik di negara kita baru sebatas kata berbunga atau konsepsi –konsepsi utopia yang indah di atas kertas ataupun naskah-naskah ilmiah di kampus-kampus. Praktek-praktek sistem pertanian organik belum memiliki greget yang mengakar dalam masyarakat tani secara luas dan dukungan iklim kondusif serta political will dari pemerintah. Pioner-pioner pertanian organik yang muncul di beberapa daerah masih berjuang keras meyakinkan para petani atau masyarakat sekitar tentang manfaat sistem pertanian organik bagi kesinambungan kehidupan alamiah dan manusia. Bahkan tidak jarang para pelaku pertanian organik mendapat sindiran atau cemoohan dari petani lain yang sudah gandrung dengan pertanian industrial yang terkenal rakus bahan kimia dan mahal. Gerakan pertanian organik kurang mendapat tanggapan yang luas karena para petani kita sebagian besar terlanjur berpola pikir dan pola sikap seperti pada masa orde baru.
Secara teknis, sistem pertanian organic merupakan suatu sistem produksi pertanian dimana bahan organic, baik makhluk hidup maupun yang sudah mati, menjadi factor penting dalam proses produksi usaha tani tanaman,perkebunan,peternakan,perikanan, dan kehutanan. Penggunaan pupuk organik(alami atau buatan) dan pupuk hayati serta pemberantasan hama,penyakit , dan gulma secara biologis adalah contoh-contoh aplikasi sistem pertanian organic. Sistem pertanian organic sebenarnya adalah warisan para leluhur kita yang sebagian besar petani, namun banyak petani sekarang justru berpaling pada pertanian yang rakus akan bahan-bahan kimia.
Kriteria sistem pertanian organik yang diberikan oleh IFOAM (International Federation of organic Agriculture movement) setidaknya harus memenuhi enam prinsip standar.
  1. Lokalita. Pertanian organic berupaya mendayagunakan potensi lokalita yang ada sebagai suatu agroekosistem yang tertutup dengan memanfaatkan bahan-bahan baku atau input dari sekitarnya.
  2. Perbaikan tanah.pertanian organic berupaya menjaga,merawat, dan memperbaiki kualitas kesuburan tanah melalui tindakan pemupukan organik, pergiliran tanaman, konservasi lahan, dan sebagainya.
  3. Meredam polusi. Pertanian organik dapat meredam terjadinya polusi air dan udara dengan menghindari pembuangan limbah dan pembakaran sisa-sisa tanaman secara sembarangan serta menghindari penggunaan bahan sintetik yang dapat menjadi sumber polusi.
  4. Kualitas produk. Pertanian organik menghasilkan produk pertanian berkualitas yang memenuhi standar mutu gizi dan aman bagi lingkungan serta kesehatan
  5. Pemanfaatan energi. Pengelolaan pertanian organik menghindari sejauh mungkin penggunaan energy dari luar yang berasal dari bahan bakar fosil yang berupa pupuk kimia, pestisida, dan bahan bakar minyak ( solar, bensin, dan sebagainya)
  6. Kesempatan kerja. Dalam mengelola usaha tani oraganiknya, para petani organik memperoleh kepuasan dan mampu menghargai pekerja lainnya dengan upah yang layak.


Sistem pertanian organik paling tidak memiliki tujuh keunggulan dan keutamaan sebagai berikut
  1. Orisinil. Sistem pertanian organic lebih mengandalkan keaslian atau orisinalitas sistem budi daya tanaman ataupun hewan dengan menghindari rekayasa genetika ataupun introduksi teknologi yang tidak selaras alam.Intervensi budi daya manusia terhadap tanaman atau hewan tetap mengikuti kaidah-kaidah alamiah yang selaras, serasi dan seimbang. Namun demikian, pertanian organic tidak berarti anti teknologi baru, sejauh hal itu memenuhi azas selaras, dan seimbang dengan alam.
  2. Rasional. Sistem pertanian organic berbasis pada rasionalitas bahwa hukum keseimbangan alamiah adalah ciptaan tuhan yang paling sempurna. Manusia sebagai bagian dari sistem jagad raya bukan ditakdirkan menjadi penguasa alam raya, tetapi bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikannya. Nilai-nilai rasionalitas harus digunakan secara seimbang dengan sistem nilai agama, etika, dan estetika yang menempatkan manusia sebagai makhluk paling mulia.
  3. Global. Saat ini, sistem pertanian organik menjadi isu global dan mendapat respon serius di kalangan masyarakat pertanian, terutama di negara-negara maju dimana masyarakat sudah sengat sadar bahwa pertanian ramah lingkungan menjadi faktor penentu kesehatan manusia dan kesinambungan lingkungan. Pada berbagai pertemuan ilmuwan lingkungan tingkat dunia, tema sistem pertanian organik selalu menjadi agenda utama dan menarrik karena menyangkut kepentingan global atau kepentinga bersama umat manusia di planet bumi.
  4. Aman, Sistem pertanian organic menempatkan keamanan produk pertanian, baik bagi kesehatan manusia ataupun bagi lingkungan, sebagai pertimbangan utama. Pertimbangan berikutnya adalah kuantitas dan kualitas komoditas pertanian, termasuk kecukupan kadar gizi dan volume yang mampu memenuhi kebutuhan hidup manusia.
  5. Netral. Sistem pertanian organic tidak menciptakan ketergantungan atau bersifat netral sehingga tidak memihak pada salah bagian ataupun pelaku dalam sistem agroekosistem. Hubungan saling ketergantungan atau simbiosis yang terbina antar pelaku sistem lebih bersifat mutualisme atau saling menguntungkan. Sistem pertanian industrial telah menciptakan ketergantungan petani pada penggunaan benih unggul, pestisida, dan pupuk kimia buatan organic. Eksistensi kemandirian petani tereduksi oleh hubungan ekonomi yang menempatkan nilai uang diatas segala-galanya.
  6. Internal. Sistem pertanian organic selalu berupaya mendaya gunakan potensi sumber daya alam internal secara intensif. Artinya introduksi input-input pertanian dari luar ekosistem pertanian sedapat mungkin dihindari untuk mengurangi terjadinya disharmoni siklus agroekosistem yang sudah berlangsung lama dan terkendali oleh kaidah hukum alam.
  7. Kontinuitas. Sistem pertanian organik tidak berorienasi jangka pendek, tetapi lebih pada pertimbangan jangka panjang untuk menjamin keberlanjutan kehidupan, baik untuk generasi yang akan datang. Bumi seisinya ini bukanlah milik kita tetapi merupakan titipan anak cucu kita.
    Sumber : Sistem pertanian berkelanjutan karya Karwan A. salikin. Penerbit Kanisius.2003. Yogyakarta.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Diposkan oleh : Hendri Yuda Winanto_13052

WERENG BATANG COKELAT MENGANCAM SWASEMBADA BERAS
Oleh Prof. Dr. Ir. Kasumbogo Untung, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Y. Andi Trisyono, M.Sc. 

Rangkuman Eksekutif

Indonesia pertama kali mencapai swasembada beras pada tahun 1984 dan capaian tersebut terancam dengan merebaknya serangan hama wereng batang cokelat (WBC) pada tahun 1985-1986. Inpres No. 3 tahun 1986 dan berbagai kebijakan implementatif yang mengikutinya merupakan respons untuk mengatasi masalah tersebut dan terbukti efektif dalam menurunkan populasi maupun luas serangan WBC. Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia juga telah mencapai swasembada beras dan lagi serangan WBC dalam dua tahun terakhir semakin meningkat dan telah mengakibatkan ribuan padi puso. Langkah yang tepat diperlukan untuk menjamin kelangsungan swasembada beras.
Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN) efektif dalam meningkatkan produksi sekitar 4.5% per tahun. Namun, berbagai praktek budidaya padi untuk mencapai peningkatan produksi juga mengandung risiko balik ekologis yang potensial menghambat pencapaian sasaran jangka pendek maupun panjang. Misalnya, penggunaan pupuk N, penanaman non varietas unggul tahan wereng (Non VUTW), penggunaan insektisida secara tidak ‘tepat guna’ mendorong meningkatnya populasi dan luas serangan WBC. Hasil pengamatan lapangan di beberapa titik di Jawa Tengah menunjukkan bahwa analisis di atas sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan, di samping kondisi cuaca yang mungkin juga berpengaruh. Populasi WBC yang ada di beberapa titik sangat tinggi, dan dengan kemampuan migrasi serta tersedianya non VUTW populasi yang ada saat ini dapat meningkat dan meluas secara cepat. Lebih lagi, VUTW yang ada (IR64) mengindikasikan kalau sifat ketahanannya telah terpatahkan oleh mungkin munculnya biotipe baru. Teknologi yang ada dan kebijakan pelaksaan Inpres No. 3 Tahun 1986 diyakini masih relevan dan mampu mengatasi permasalahan WBC kalau dilaksanakan secara benar.
Usulan tindak lanjut meliputi: 1. Penerapan pengelolaan hama terpadu (PHT) secara benar, 2. Pengendalian secara luas, 3. Perbaikan metode deteksi dan pengamatan hama dan penyakit, 4. Peninjauan kembali kebijakan registrasi pestisida padi, 5. Pengembangan VUTW baru dan pengelolaan VUTW yang telah ada, dan 6. Monitoring biotipe dan resistensi WBC.

I. Pendahuluan

Pada 3 tahun terakhir (2007-2009)  Indonesia telah berswasembada beras dengan laju peningkatan produksi  4,5% per tahun.  Peningkatan produksi tersebut tercapai setelah Pemerintah gencar melaksanakan program P2BN (Program Peningkatan Produksi Beras Nasional) dengan memberikan berbagai  subsidi, bantuan langsung dan insentif bagi petani  dalam bentuk benih unggul termasuk padi hibrida, pupuk kimia (N,P, K ) dan pupuk organik pada petani dan  kelompok tani melalui Gapoktan. Kegiatan penyuluhan petani ditingkatkan dengan menambah kuantitas dan kualitas tenaga PPL yang disebarkan sampai ke semua   desa.  Tujuan  utama kegiatan P2BN adalah peningkatan produksi padi setiap tahun yang ditargetkan 5% guna mengimbangi pertambahan kebutuhan pangan akibat pertambahan  penduduk  serta  kebutuhan sektor lain akan  tanaman pangan.  
Implementasi program P2BN secara luas, intensif, dan cenderung seragam akan mengundang reaksi dan umpan balik  ekologis yang secara potensial  dapat menjadi penghambat pencapaian sasaran jangka pendek usaha peningkatan produksi pangan. Reaksi ekologi tersebut dapat mengakibatkan P2BN menjadi semakin tidak efektif dan efisien dalam mencapai sasarannya yaitu peningkatan produksi pangan berkelanjutan. Salah satu bentuk reaksi ekologis yang sekarang  dihadapi oleh petani adalah peningkatan  letusan dan  serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) terutama  hama wereng batang cokelat (WBC) beserta  penyakit virus yang ditularkan (virus kerdil rumput dan virus  kerdil hampa).

II. Identifikasi Masalah  Peningkatan Serangan  Wereng Batang Cokelat

Beberapa praktek yang dapat kami identifikai mempunyai peranan sebagai penyebab atau pendorong peningkatan serangan WBC di beberapa sentra produksi padi adalah sebagai berikut:
  1.     Di banyak daerah terutama yang beririgasi teknis, petani didorong meningkatkan indeks penanaman (IP 300 dan IP 400) yaitu dengan menanam padi unggul berumur pendek sehingga dalam satu tahun dapat ditanam padi tiga kali. Dengan strategi tersebut luas dan produksi  panen padi meningkat tetapi  petani meninggalkan pola tanam  yang dianjurkan yaitu padi-padi-palawija.  Karena harga dan pemasaran hasil yang relatif lebih  baik  serta dukungan dan bantuan pemerintah, petani terdorong lebih baik menanam padi dari pada tanaman pangan lainnya. Penanaman padi terus menerus akan mendorong peningkatan populasi dan serangan hama karena siklus kehidupan WBC dan hama-hama lain tidak terputus.
  1.    Penggunaan pupuk kimia terutama pupuk N oleh petani semakin tinggi agar varietas padi unggul baik yang tahan hama maupun peka hama (terutama padi hibrida) dapat mencapai hasil maksimal pada kondisi kesuburan lahan yang semakin berkurang. Peningkatan penggunaan  pupuk N  sangat mendorong peningkatan populasi WBC.
  1.    Penanaman varietas peka terhadap OPT, khususnya WBC. Tergiur oleh potensi produksi tinggi dan mengikuti anjuran Pemerintah beberapa petani menanam varietas padi hibrida yang secara inheren sangat peka terhadap hama dan penyakit padi terutama WBC dan penyakit virus kerdil rumput. Lebih lanjut, banyak petani menanam varietas unggul lokal yang mempunyai rasa enak, harga tinggi, dan disenangi konsumen tetapi peka terhadap WBC, seperti Menthik dan Pandan Wangi. Perluasan penanaman varietas peka di daerah endemis WBC akan meningkatkan potensi biotik dan penyebaran populasi WBC di daerah yang lebih luas. Pada kondisi populasi lapangan WBC yang  tinggi dan eksplosif  tidak ada lagi  varietas padi yang tahan terhadap wereng cokelat termasuk IR 64. 
  1.    Melihat kerusakan tanaman padi dan populasi WBC yang tinggi, petani terpaksa mengusahakan pengadaan pestisida kimia. Namun karena keterbatasan petani dalam permodalan, pengetahuan dan ketrampilan tentang aplikasi pestisida kimia, serta terbatasnya jumlah bantuan pestisida kimia dari pemerintah,  maka praktek aplikasi pestisida oleh petani menjadi tdak tepat termasuk tepat jenis, konsentrasi, dan dosis. Petani terpaksa melakukan penyemprotan pestisida dengan dosis yang kurang dari dosis anjuran. Secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa penyemprotan pestisida yang tidak tepat dosis dan konsentrasi dapat  mendorong terjadinya resistensi dan resurjenisi WBC yang berakibat meningkatnya populasi WBC lebih cepat dibandingkan sebelum dilakukan penyemprotan. Banyak jenis formulasi insektisida yang pada saat ini diijinkan pemerintah untuk dipasarkan dan digunakan pada tanaman padi telah dilaporkan terbukti mendorong resurjensi  WBC.
Kombinasi antara pola tanam yang tidak teratur, perluasan penanaman  varietas padi peka hama serta aplikasi pestisida kimia yang tidak tepat serta kondisi cuaca khususnya curah hujan  yang mendukung  merupakan beberapa masalah utama yang memicu peningkatan dan ancaman WBC di beberapa propinsi dan daerah sentra padi  akkhir-akhir ini.

III. Instruksi Presiden No 3 Tahun 1986

Peningkatan serangan hama WBC yang terjadi di beberapa propinsi di Jawa  Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat pada musim hujan 2009/2010  dan permulaan musim kemarau 2010 ini  mengingatkan kita  akan kejadian letusan WBC sekitar 1985-1986 setelah Indonesia berswasembada beras pada 1984. Agar WBC dapat dikendalikan, Inpres 3 tahun 1986 tentang Peningkatan Pengendalian Hama Wereng Coklat Pada Tanaman Padi dikeluarkan. Inpres tersebut merupakan penerapan prinsip dan teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) untuk WBC.  Secara hukum Inpres 3/1986 sampai sekarang belum dicabut sehingga masih berlaku.
Ada banyak kebijakan  penting dalam Inpres 3/1986  tersebut dan enam  diantaranya adalah:
  1.     Pengendalian hama wereng cokelat dengan menggunakan prinsip Pengendalian  Hama Terpadu (PHT);
  2.     Penggunaan pola tanam yang diarahkan ke pertanaman serentak, pergiliran tanaman dan pergiliran varietas;
  3.     Penananman varietas unggul tahan hama;
  4.     Lima puluh tujuh (57)  formulasi insektisida yang dapat menimbulkan resurjensi, resistensi dan dampak lain yang merugikan  dilarang digunakan untuk tanaman padi;
  5.     Pengamatan hama untuk mengetahui kemungkinan timbulnya hama secara dini dan akurat perlu dilaksanakan antara lain dengan menambah jumlah tenaga pengamat serta meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya melalui kegiatan pelatihan PHT;
  6.     Dalam rangka penyuluhan pertanian kepada penyuluh pertanian dan kelompok tani/petani diberikan latihan untuk meningkatkan ketrampilannya.
Sebagai tindak lanjut Inpres 3 Tahun 1986 Pemerintah pada waktu itu  menambah jumlah Pengamat Hama dan Penyakit (PHP)  dari  sekitar 1500 orang  menjadi 3000 orang,  dua kali lebih banyak dibandingkan jumlah PHP sebelumnya. Selanjutnya Pemerintah menyelenggarakan pelatihan tentang PHT dalam bentuk SLPHT (Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu ) untuk melatih para penyuluh, pengamat hama dan penyakit serta petani tentang prinsip dan penerapan PHT. Sampai saat ini lebih dari 2 juta petani padi telah mengikuti SLPHT.

Implementasi Inpres 3/1986 dalam pengendalian WBC dilaksanakan oleh Pemerintah sampai ke tingkat petani dan lapangan  yang efektif dalam mengendalikan WBC. Hal itu terbukti dengan luas serangan yang secara drastis menurun sejak akhir 1980an sampai sekitar  5 tahun yang lalu. Dalam kurun waktu tersebut serangan WBC maupun puso hanya terjadi dalam skala kecil karena masalah WBC dalam skala luas dapat terkendali.
Dengan kondisi WBC yang terkendali karena proses pengendalian alami maupun kegiatan perlindungan tanaman membuat Pemerintah dan petani “melupakan “ Inpres 3/1986  yaitu dengan mengembangkan kebijakan-kebijakan yang lebih beorientasi pada pemacuan produksi padi jangka pendek serta mengabaikan beberapa prinsip dan kebijakan kewaspadaan dan pemantauan WBC yang diamanatkan oleh  Inpres 3/1986. Apabila kondisi lingkungan memenuhi, populasi WBC dan luas serangan dapat meningkat secara tajam dalam waktu yang singkat karena hama ini mempunyai kemampuan biotis yang sangat tinggi dan migrasi dalam jarak jauh. Fenomena tersebut terjadi dalam dua tahun terakhir di daerah endemis WBC seperti Kabupaten Klaten dan  berbagai daerah sentra produksi padi lainnya di pulau Jawa dan Sumatera. 

IV. Potret Hasil Pengamatan Lapangan Mei 2010

Untuk klarifikasi dan konfirmasi dengan identifikasi masalah di atas pada tanggal 22 Mei 2010, kami mengamati wereng cokelat di tujuh hamparan padi yang masuk wilayah Kabupaten Klaten, Boyolali, dan Sukoharjo. Di samping melakukan pengamatan langsung, wawancara dengan petani dan petugas pertanian juga dilakukan. Berdasarkan hasil pengamatan yang kami lakukan, kami sampaikan beberapa pendapat  serta  usulan pada Pemerintah mengenai  langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh para  pemangku kepentingan  agar hama WBC dapat dikendalikan sehingga tidak menjadi ancaman bagi swasembada beras.

  1.     Luas pertanaman padi yang telah, sedang, dan di prediksi akan mengalami puso mencapai ribuan hektar karena puso telah terjadi sejak musim tanam sebelumnya (mulai Februari 2010). Ratusan hektar sawah diberokan di Klaten karena petani tidak ingin mengambil risiko tanamannya akan terserang kembali oleh WBC. Petani yang menanam lagi, saat ini tanaman padinya juga terserang oleh WBC.
  1.    Kedua, populasi WBC mencapai 20 ekor per rumpun pada tanaman yang berumur sekitar 30 hari setelah tanam di hamparan wilayah Klaten dan Boyolali. WBC tersebut sebagian besar di dominasi oleh stadium dewasa dan sebagian kecil nimfa tua. Tanaman padi yang diamati sudah mulai menguning dan tidak lama lagi akan terbakar. Cukup mengejutkan di wilayah Gatak, Sukoharjo, populasi WBC mencapai >100 ekor per rumpun pada tanaman padi yang masih hijau dan berumur sekitar 30 hari. Semua rumpun padi terserang oleh WBC. Pada tanaman muda (sekitar 10 hari) populasi WBC sangat tinggi, dan bahkan beberapa rumpun dipenuhi oleh imago WBC sampai pada bagian pucuk daun. Populasi ini nampaknya merupakan populasi migran karena semua bersayap dan tidak ada nimfa. Di sekitar titik ini puluhan hektar tanaman padi yang sedikit lebih tua sudah menguning dan sebagian terbakar.
  1.    IR64 merupakan varietas yang banyak ditanam saat ini, tetapi varietas ini yang notabene merupakan VUTW juga banyak terserang. WBC sudah merupakan generasi yang kedua karena ditemukan imago (dominan) dan sebagian nimfa tua. Hal ini mengindikasikan bahwa populasi WBC yang ada di lapangan saat ini merupakan individu yang mampu beradaptasi dengan mematahkan sifat ketahanan yang dipunyai oleh IR64.
  1.    Insektisida masih banyak digunakan oleh petani untuk pengendalian WBC maupun hama lainnya di pertanaman padi. Formulasi insektisida yang digunakan sangat beragam. Hal ini selaras dengan jumlah formulasi insektisida yang terdaftar untuk wereng cokelat juga sangat banyak, misalnya untuk tahun 2008 terdaftar 218 formulasi insektisida yang terdaftar untuk pengendalian hama-hama padi termasuk 78 formulasi untuk pengendalian WBC. Formulasi insektisida tersebut banyak yang berasal dari bahan aktif yang sama, termasuk kelompok piretroid sintetik yang dapat memicu dan memacu resurjenis WBC.
  1.    Predator di lahan yang diamati relatif rendah baik dalam populasi maupun diversitas spesies yang ditemukan. Predator yang dominan ditemukan adalah Lysosa.
  2.    WBC juga ditemukan pada rumput di sekitar pertanaman padi. Sawah yang diberokan berfungsi sebagai reservoir dan WBC akan segera berpindah ke tanaman padi di sekitarnya.  
V. Faktor yang Berkontribusi dalam Peningkatan Populasi dan Serangan WBC

Faktor utama yang berkontribusi terhadap meningkatnya populasi dan meluasnya serangan WBC dalam beberapa tahun terakhir adalah potensi biotis WBC yang tinggi, faktor abiotik, dan kegiatan operasional budidaya padi yang favorable (mendukung) berkembangnya populasiWBC. Ketiga faktor tersebut dapat bekerja secara bersama maupun secara sendiri-sendiri. Penjabaran lebih lanjut akan kami fokuskan pada faktor terakhir.  
VUTW masih cukup banyak ditanam oleh petani, misalnya IR64, tetapi varietas lain yang tidak tahan terhadap WBC (Non VUTW) juga banyak ditanam di berbagai sentra produksi padi bahkan di daerah-daerah yang sudah diketahui sebagai daerah endemik. Varietas Non VUTW ini pada umumnya adalah varietas lokal atau hibrida yang rentan terhadap semua biotipe WBC. IR64 yang mempunyai gen ketahanan juga mati karena serangan WBC. Sangat mungkin populasi WBC yang ada saat ini di lapangan merupakan populasi yang telah mampu beradaptasi dan berkembang dengan mematahkan gen ketahanan yang ada pada IR64. Kombinasi antara ketersedian varietas peka yang dapat digunakan sebagai tempat hidup WBC berbagai biotipe dan munculnya biotipe baru yang mematahkan VUTW yang ada saat ini memberikan ekosistem yang kondusif bagi berkembangnya WBC. 
Pada kenyataannya insektisida masih banyak digunakan untuk pengendalian WBC maupun hama padi lainnya. Sudah sangat dipahami bahwa penggunaan insektisida yang tidak tepat menyebabkan berbagai dampak yang tidak diinginkan, diantaranya resistensi dan resurjensi. Hasil penelitian sudah banyak yang mendokumentasikan kemampuan populasi WBC untuk  menjadi tahan terhadap berbagai jenis insektisida. Insektisida sama yang dipakai secara terus menerus akan menyebabkan munculnya populasi yang resisten (tahan) terhadap insektisida dalam waktu yang relatif singkat. Penelitian kami di laboratorium menunjukkan bahwa tidak lebih dari enam bulan populasi WBC sudah bisa menjadi resisten terhadap insektisida tertentu. Resurjensi juga dipicu oleh digunakannya inseketisida yang berspektrum luas dan digunakan tidak sesuai dengan dosis/konsentrasi rekomendasi. Mempertimbangkan pengalaman sebelumnya dan kegiatan pertanian padi yang kita praktekan saat ini, resistensi dan resurjensi dapat juga mempunyai kontribusi terhadap meningkatnya populasi WBC di beberapa daerah akhir-akhir ini. 
V. Usulan Tindak Lanjut
Fakta tentang letusan populasi dan serangan WBC pada akhir-akhir ini serta pengalaman-pengalaman selama puluhan tahun dalam menangani hama ini memberikan pelajaran bagi semua pihak bahwa kebijakan, pengetahuan dan ketrampilan tentang pengendalian WBC telah tersedia dan hasilnya  efektif bila dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Berbagai kepentingan mempengaruhi kegiatan pengendalian perlindungan tanaman, khususnya pengendalian WBC, sehingga kebijakan PHT WBC tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya. Berikut kami usulkan kembali beberapa kebijakan yang perlu dilakukan oleh Pemerintah agar WBC tidak lagi menjadi ancaman bagi kelestarian swasembada pangan..     
1. Penerapan PHT secara benar
Solusi terbaik adalah kembali menerapkan prinsip-prinsip PHT secara benar dan tepat seperti diamanatkan oleh Inpres 3/1986 tentang Peningkatan Pengendalian Hama Wereng Coklat pada Tanaman Padi, UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan PP No 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman. Agar proses pengendalian WBC secara alami dapat  berjalan secara efektif,  efisien dan ekonomis, penanaman varietas tahan WBC biotipe lokal, pergiliran tanaman, penanaman serentak, serta pembatasan penggunaan pestisida kimia merupakan strategi utama pengendalian WBC. Bila pestisida kimia terpaksa dilakukan karena populasi WBC telah melampaui ambang kendali maka aplikasi harus dilakukan secara tepat guna yaitu tepat jenis, tepat dosis, tepat cara, tepat sasaran, tepat sasaran, tepat waktu dan tepat tempat.       

2.  Pengendalian skala luas
Di samping pengelolaan WBC dengan ecosystem based approach seperti yang telah  dipelajari petani di SLPHT juga perlu penanganan dalam skala yang lebih luas (areawide approach). Pendekatan kedua merupakan komplemen terhadap yang pertama dan ditujukan untuk mengurangi sumber inokulum dalam skala yang luas. Pendekatan pertama, petani berperan lebih aktif dalam proses pengambilan keputusan pada aras lokal, sedangkan pendekatan kedua lebih menonjolkan peran pemerintah pusat maupun daerah sebagai fasilitator dan koordinator pelaksanaan kegiatan pengendalian secara bersama. .
3. Perbaikan metode deteksi dan pengamatan OPT
Teknologi yang ada saat ini yang dirakit sejak diterbitkannya Inpres 3/1986 diyakini masih efektif untuk mengelola WBC selama satu dengan yang lain tidak saling bertentangan atau beresiko terhadap fungsi pengendalian alami. Kunci keberhasilan dan perbaikan yang diperlukan terletak pada kemampuan kita dalam mendeteksi populasi yang berkembang menuju outbreak dan mengambil tindakan dengan menggunakan teknologi yang tepat.
Metode sampling dan pengamatan OPT merupakan perangkat esensial dan metode yang akurat akan memberikan informasi yang merepresentasikan fakta yang ada. Metode pengamatan yang saat ini digunakan merupakan karya monumental beberapa dekade yang lalu dan perlu untuk di revisit untuk menghilangkan kerancuan dalam pemahaman terhadap pedoman yang ada, penyesuaian dengan platform perlindungan tanaman saat ini, dan  mengakodasi berbagai keperluan domestik maupun internasional (ekspor).
Jumlah petugas pengamat hama atau POPT (Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman) terbatas (3268 petugas)  dan akan semakin berkurang  jumlahnya karena sebagian besar sudah dan sedang  memasuki masa purna tugas. Kebijakan penambahan petugas  POPT sebanyak 1253  THL (Tenaga Harian Lepas) akhirnya tidak dapat diteruskan. Keterampilan petugas pengamat juga memegang peran utama dalam memperoleh data yang akurat. Saat ini setiap POPT bertanggungjawab untuk melakukan pengamatan OPT di satu atau dua wilayah kecamatan. Secara teknis statistik wilayah pengamatan  seluas itu bagi seorang POPT  tidak akan  dapat menjamin akurasi dan kepercayaan data hasil pengamatan. Dengan demikian, data yang terkumpul tentang berat dan luas serangan OPT padi selama ini diragukan kesahihannya..
Dari aspek pendampingan petani dan kelompok tani  di tingkat desa, kami lihat adanya ”kejanggalan struktural” antara  tiga petugas pertanian lapangan yaitu POPT, PPL, dan mantri tani. Sesama petugas fungsional tetapi luas pewilayahannya sangat berbeda, satu POPT untuk satu atau dua kecamatan dan satu PPL untuk satu desa.  Perlu dipertimbangkan apakah tidak mungkin konsep ‘three for one’ yang saat ini dilaksanakan diganti dengan ‘one for all’ dalam arti POPT melaksanakan tugas pengamatan POPT dan juga penyuluhan, demikian juga PPL melakukan tugas penyuluhan dan juga melakukan pengamatan POPT. Bila hal ini dapat dilakukan Pemerintah dapat meningkatkan kualitas pendampingn petani serta  mengurangi jalur birokrasi di tingkat bawah dan menjamin action dapat cepat dilaksanakan. 
4.  Peninjauan kebijakan registrasi pestisida padi
Perbaikan dalam sistem registrasi pestisida sangat diperlukan, khusus  untuk registrasi pada tanaman padi. Studi tentang resurjensi WBC sudah menjadi syarat dalam proses pendaftaran. Namun, mengingat kompleksitas mekanisme resurjensi maka kriteria yang digunakan  seperti varietas padi yang digunakan, dosis dan konsentrasi aplikasi, serta lokasi percobaan  perlu  ditinjau kembali. Hal yang sama juga diperlukan untuk studi terkait dengan resistensi. Analisis risiko perlu diterapkan dalam proses pendaftaran baik risiko bagi hama target, hama non target maupun kompleks musuh alami yang ada dalam ekosistem padi. Otoritas pendaftaran dan perijinan pestisida di Kementerian Pertanian agar mempunyai pendekatan dan prinsip  yang sama dalam memberikan ijin pendaftaran dan penggunaan  pestisida dengan lembaga yang bertanggungjawab dalam penggunaan pestisida di lapangan seperti Ditjen Tanaman Pangan, Ditjen Hortikultura, dan Ditjen Perkebunan. 
5. Pengembangan varietas baru
Pengembangan varietas baru yang mempunyai ketahanan terhadap WBC (biotipe baru), termasuk yang menggunakan teknologi hibrida, perlu di speed up, dan manajemen VUTW yang telah ada perlu dilakukan untuk memperpanjang masa hidup.

6. Monitoring biotipe dan resistensi WBC
Dari hasil pengamatan lapangan terlihat bahwa varietas IR 64  yang mempunyai sifat resisten terhadap WBC  telah terpatahkan sifat ketahanannya, dan hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan biotipe WBC. Kegiatan monitoring  biotipe WBC pernah dilakukan beberapa tahun diusulkan agar diaktifkan kembali. Berdasarkan hasil mapping biotipe WBC di suatu daerah dapat ditentukan  jenis VUTW yang  sebaiknya ditanam di suatu daerah pada musim tertentu.
Informasi resistensi populasi WBC di lapangan terhadap berbagai insektisida diperlukan karena hal ini dapat digunakan sebagai konsideran dalam proses registrasi insektisida baru maupun ijin perpanjangan untuk insektisida yang telah terdaftar.




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1_konsep pertanian organik_12787_Fitriyani



Organik, berasal dari akar kata organ. Seperti yang kita ketahui, organ adalah bagian dari tubuh yang memiliki fungsi khas untuk mendukung kehidupan. Yang saya garis bawahi tadi adalah kata kunci dari pertanian organik.
Sayangnya, pertanian organik (dan produknya) seringkali dipahami dengan sempit. Asal pakai pupuk kandang, tanpa pestisida sintetis, atau sudah sesuai dengan standar deptan…maka produk langsung bisa diklaim sebagai organik. Padahal tidaklah demikian.
Pertanian organik setidaknya tersusun atas tiga elemen utama, yaitu:
1. Alam — di mana ada pengakuan akan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan manusia. Misalnya cuaca, kondisi tanah, air, hewan-hewan, dsb. Kekuatan ini bukan untuk dilawan, tetapi dijadikan sebagai mitra.
2. Budidaya — di mana ada etika (budi), pikiran dan daya upaya.
3. Manusia — petani, masyarakat disekitar, penjual, dan konsumen
Elemen-elemen tadi tidak dapat dipisah-pisahkan. Semuanya harus bergerak secara harmonis, dan harus hidup.
Pengejawantahannya bisa beragam, sesuai dengan kondisi lokal. Bu Mary mungkin bisa bercerita lebih banyak bahwa di kalangan masyarakat Jawa ada ilmu Titi Mongso, yaitu ilmu tentang tanaman apa yang harus ditanam pada masa-masa tertentu. Masyarakat Jawa tradisional juga suka meletakkan sesaji di sawah. Isi sesajinya antara lain pisang raja dan kue-kue yang berasa manis. Bertahun-tahun kemudian tradisi ini baru dibuktikan secara ilmiah bahwa pisang raja akan mengundang semut, yang merupakan predator terhadap hama tanaman padi. Sayangnya tradisi ini kemudian semakin punah dengan masuknya agama-agama yang berasal dari daerah non penghasil padi. Dan, masih banyak lagi sebenarnya contoh2 yang lain.
Karena berusaha selaras dengan alam, maka pertanian organik tidak bisa dilakukan secara multiculture dalam jumlah besar. Dalam pertanian organik selalu ada unsur:
1. Beraneka ragam. Untuk mengendalikan populasi hama, dan untuk menjamin agar tanah tidak mengalami defisiensi nutrisi tertentu. Di sini dikenal tanaman penambat nitrogen, tanaman pengusir hama, tanaman pemikat hama (agar hama tidak menyerang tanaman induk), tanaman penggembur tanah (umbi-umbian), tanaman penaung, dsb.
2. Bergilir. Selain untuk menyesuaikan diri dengan musim agar tidak mudah kena penyakit, tujuannya juga untuk mengendalikan populasi hama dan menjaga kesuburan tanaman.
3. Lokal. Tanaman lokal telah beradaptasi dengan alam lokal selama berabad-abad sehingga lebih tahan terhadap hama dan penyakit.
Tentang ini, perlu diingat bahwa Kelapa Sawit berasal dari Afrika Barat. Tanaman palma khas Indonesia itu sagu, kelapa, aren, siwalan dan sejenisnya.
Karena salah satu unsurnya adalah manusia, maka pertanian organik tidak dapat dipisahkan dari FAIR TRADE alias perdagangan yang adil. Masyarakat setempat dilibatkan dalam pertanian ini, baik sebagai petani, pengolah maupun pemasar. Petani harus mendapatkan penghasilan yang layak untuk kehidupannya. Dan konsumen harus mendapat produk yang sehat sesuai dengan harga yang dibayarnya….
Semoga ini bisa memberikan sedikit gambaran bagi rekan-rekan sekalian tentang konsep organic farming.
Akhir kata, “Organic farming is way of life, it is not mereley a way of doing business.”

Daftar Pustaka :
http://sistempertanianorganik.wordpress.com/category/artikel-pertanian-organik/ (diakses pada tanggal 14 November 2013 Pukul 23.05 WIB)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pemanfaatan Cendawan Mikroza Arbuskula Untuk Memacu Pertumbuhan Bibit Manggis

Nama : Frida heni
Nim   : 12647
kelompok : 1
golongan : B3



Pemanfaatan Cendawan Mikroza Arbuskula
Untuk Memacu Pertumbuhan Bibit Manggis
Oleh : M. Jawal Anwarudin Syah, Irwan Muas dan Yusri Herizal
Program pengembangan tanaman manggis dalam skala luas sampai sekarang masih terkendala oleh berbagai masalah budidaya di antaranya adalah sangat lambatnya laju tumbuh tanaman baik pada fase bibit maupun setelah ditanam di lapang. Semaian manggis yang berumur 2 tahun banyak yang tidak mencapai tinggi lebih dari 15 cm.Lambatnya laju pertumbuhan tanaman manggis ini akibat dari kurang baiknya sistim perakaran yang dimiliki. Manggis memiliki akar-akar lateral yang relatif sedikit dan miskin akan bulu-bulu akar, sehingga kemampuannya menyerap hara dan air dari dalam tanah sangat terbatas. Untuk mengatasi masalah ini, perlu dilakukan upaya mempercepat pertumbuhannya dengan meningkatkan kemampuan akar manggis dalam penyerapan hara dan air yang sangat dibutuhkan bagi pertambahan tanaman.Penggunaan cendawan mikroza sebagai alat biologis dalam bidang pertanian dapat memperbaiki pertumbuhan, produktivitas dan kualitas tanaman tanpa menurunkan kualitas ekosistem tanah. Selain itu aplikasi cendawan mikroza dapat membantu rehabilitasi lahan kritis dan meningkatkan produktivitas tanaman pertanian, perkebunan, kehutanan pada lahan-lahan marginal dan pakan ternak.
Cendawan Mikroza Arbuskula (CMA) termasuk kelompok endomikoriza yaitu suatu
cendawan tanah yang bersifat simbiotik obligat dengan akar tanaman yang telah diketahui mempunyai pengaruh yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman, karena dapat meningkatkan serapan hara. Struktur yang terbentuk akibat kerjasama yang saling menguntungkan antara cendawan mikroza dengan akar tanaman, mempunyai kemampuan untuk meningkatkan masukan air dan hara dari tanah ke dalam jaringan tanaman.      
Mekanisme hubungan antara CMA dengan akar tanaman adalah sebagai berikut, pertama-tama spora CMA berkecambah dan menginfeksi akar tanaman, kemudian di dalam jaringan akar CMA ini tumbuh dan berkembang membentuk hifa-hifa yang panjang dan bercabang. Jaringan hifa ini memiliki jangkauan yang jauh lebih luas daripada jangkauan akar tanaman itu sendiri. Hifa CMA yang jangkauannya lebih luas ini selanjutnya berperan sebagai akar tanaman dalam menyerap air dan hara dari dalam tanah.
Pemanfaatan cendawan mikoriza arbuskula pada beberapa tanaman komersial telah menunjukkan hasil yang cukup baik. Inokulasi CMA pada apel dapat meningkatkan kandungan P pada daun dari 0,04% menjadi 0,19%. Penggunaan cendawan mikroza pada tanaman kopi, dapat meningkatkan bobot kering tanaman serta jumlah daun yang berbeda nyata dengan tanpa mikoriza. Selain itu, pada tanah dengan ketersediaan hara rendah, inokulasi CMA dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman kakao. Pada tanaman pisang, inokulasi CMA juga mampu meningkatkan pertambahan tinggi tanaman serta kandungan hara N, P, K, dan Ca pada daun.
Kemampuan satu jenis CMA dapat berasosiasi dengan beberapa tanaman komersial
cukup luas, akan tetapi kesesuaiannya dalam bersimbiose dengan tanaman sangat dipengaruhi oleh berbagai kondisi tanah, jenis mikroza dan jenis tanaman. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Balitbu sudah mencoba memanfaatkan CMA untuk memacu pertumbuhan bibit manggis, yang dimulai dengan melakukan eksplorasi CMA di beberapa daerah sentra produksi manggis di Sumatera Barat. Tanah serta sedikit akar di sekitar perakaran manggis dewasa diambil dan selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk penangkaran (trapping). Spora-spora yang sudah diperoleh ini selanjutnya diperbanyak secara kultur pot pada media pasir steril dengan tanaman inang Pueraria javanica selama 4 bulan.
Berbagai Jenis inokulum CMA yang diperoleh dari beberapa daerah sentra produksi
manggis ini selanjutnya diuji cobakan pada bibit manggis yang baru berumur 2 bulan (berdaun 2 helai). Bibit manggis ditanam di dalam pot percobaan yang berisi media tanah : pasir (1 : 1) yang telah difumigasi terlebih dahulu dengan fumigan (Basamid) selama 2 minggu. Setiap pot berisi 2 kg media dan terdiri dari satu tanaman. Sebelum transplanting bibit ke pot percobaan, terlebih dahulu dilakukan inokulasi CMA sebanyak 1 sendok makan inokulan yang ditempatkan di bawah perakaran bibit manggis. Selanjutnya di dalam rumah kaca dan dipelihara secara optimal.
Hasilnya menunjukkan bahwa setelah 19 bulan diinokulasi CMA, ternyata CMA yang
berasal dari daerah Sawahlunto Sijunjung dapat memacu pertumbuhan bibit manggis yang cukup signifikan yaitu sekitar 50% lebih cepat dibandingkan dengan bibit manggis yang tidak diinokulasi CMA.
Sampai saat ini inokulasi CMA pada tanaman dilakukan dengan cara meletakkan inokulum CMA ke bidang perakarannya. Inokulum tersebut adalah media penggandaan spora (biasanya pasir atau zeolit) yang mengandung spora CMA dan potongan-potongan akar tanam inang. Cara ini mempunyai kelemahan diantaranya sangat voluminous dengan bobot cukup mahal transportasinya. Selain itu, jumlah dan dosis spora CMA yang terdapat di dalam inokulum tidak diketahui dengan pasti. Berdasarkan hal tersebut, Balitbu Tropika melakukan penelitian tentang pengemasan spora CMA ke dalam bentuk yang lebih praktis dan sederhana dengan dosis spora yang diketahui secara pasti agar mudah diaplikasikan. Hasilnya menunjukkan bahwa spora CMA dapat dikemas ke dalam kapsul dengan menggunakan Carier (bahan pencampur) yang terbaik dari tanah hitam.
Daya simpan dari spora CMA yang dikemas ke dalam kapsul ini cukup lama, karena
penyimpanan sampai 18 bulan masih cukup infektif dan efektif dalam memacu pertumbuhan bibit manggis. Cara aplikasi kapsul ini juga sangat mudah yaitu dengan membuat lubang dengan sebilah bambu sebesar pensil di sebelah kiri atau kanan bibit manggis sedalam 4-5 cm. Selanjutnya kapsul bermikroza tersebut dimasukkan ke dalam lubang dan lubang ditutup kembali dengan tanah.
Dalam pembangunan bidang pertanian berkembang isu kebijaksanaan mengenai
budidaya tanaman yang diarahkan pada upaya mempertahankan/meningkatkan kesuburan lahan dengan hanya menggunakan input organik dan menekan input bahan kimiawi yang dapat mencemarkan dan merusak lingkungan. Berkaitan dengan isu kebijaksanaan tersebut, tampak bahwa penggunaan CMA pada tanaman manggis dapat berperan ganda yaitu selain dapat memacu pertumbuhan bibit manggis, juga dapat mendukung kebijaksanaan pemerintah tersebut, karena CMA dapat menekan penggunaan pupuk kimiawi, meningkatkan produktivitas lahan-lahan marginal dan membantu rehabilitasi lahan kritis.

M. Jawal Anwarudin Syah, Irwan Muas dan Yusri Herizal
Penulis dari Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Puslitbanghorti
                                                                                    Dimuat dalam Tabloid Sinar Tani, 24 Oktober 2007


alamat : www.deptan.go.id



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS