Diposkan oleh : Hendri Yuda Winanto_13052
WERENG BATANG
COKELAT MENGANCAM SWASEMBADA BERAS
Oleh Prof. Dr. Ir. Kasumbogo Untung,
M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Y. Andi Trisyono, M.Sc.
Rangkuman Eksekutif
Indonesia pertama kali mencapai
swasembada beras pada tahun 1984 dan capaian tersebut terancam dengan
merebaknya serangan hama wereng batang cokelat (WBC) pada tahun 1985-1986.
Inpres No. 3 tahun 1986 dan berbagai kebijakan implementatif yang mengikutinya merupakan
respons untuk mengatasi masalah tersebut dan terbukti efektif dalam menurunkan
populasi maupun luas serangan WBC. Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia juga
telah mencapai swasembada beras dan lagi serangan WBC dalam dua tahun terakhir
semakin meningkat dan telah mengakibatkan ribuan padi puso. Langkah yang tepat
diperlukan untuk menjamin kelangsungan swasembada beras.
Program Peningkatan Beras Nasional
(P2BN) efektif dalam meningkatkan produksi sekitar 4.5% per tahun. Namun,
berbagai praktek budidaya padi untuk mencapai peningkatan produksi juga
mengandung risiko balik ekologis yang potensial menghambat pencapaian sasaran
jangka pendek maupun panjang. Misalnya, penggunaan pupuk N, penanaman non
varietas unggul tahan wereng (Non VUTW), penggunaan insektisida secara tidak
‘tepat guna’ mendorong meningkatnya populasi dan luas serangan WBC. Hasil
pengamatan lapangan di beberapa titik di Jawa Tengah menunjukkan bahwa analisis
di atas sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan, di samping kondisi cuaca yang
mungkin juga berpengaruh. Populasi WBC yang ada di beberapa titik sangat
tinggi, dan dengan kemampuan migrasi serta tersedianya non VUTW populasi yang
ada saat ini dapat meningkat dan meluas secara cepat. Lebih lagi, VUTW yang ada
(IR64) mengindikasikan kalau sifat ketahanannya telah terpatahkan oleh mungkin
munculnya biotipe baru. Teknologi yang ada dan kebijakan pelaksaan Inpres No. 3
Tahun 1986 diyakini masih relevan dan mampu mengatasi permasalahan WBC kalau
dilaksanakan secara benar.
Usulan tindak lanjut meliputi: 1.
Penerapan pengelolaan hama terpadu (PHT) secara benar, 2. Pengendalian secara
luas, 3. Perbaikan metode deteksi dan pengamatan hama dan penyakit, 4.
Peninjauan kembali kebijakan registrasi pestisida padi, 5. Pengembangan VUTW
baru dan pengelolaan VUTW yang telah ada, dan 6. Monitoring biotipe dan resistensi
WBC.
I. Pendahuluan
Pada 3 tahun terakhir
(2007-2009) Indonesia telah berswasembada beras dengan laju peningkatan
produksi 4,5% per tahun. Peningkatan produksi tersebut tercapai setelah
Pemerintah gencar melaksanakan program P2BN (Program Peningkatan Produksi Beras
Nasional) dengan memberikan berbagai subsidi, bantuan langsung dan
insentif bagi petani dalam bentuk benih unggul termasuk padi hibrida,
pupuk kimia (N,P, K ) dan pupuk organik pada petani dan kelompok tani
melalui Gapoktan. Kegiatan penyuluhan petani ditingkatkan dengan menambah
kuantitas dan kualitas tenaga PPL yang disebarkan sampai ke semua
desa. Tujuan utama kegiatan P2BN adalah peningkatan
produksi padi setiap tahun yang ditargetkan 5% guna mengimbangi pertambahan
kebutuhan pangan akibat pertambahan penduduk serta kebutuhan
sektor lain akan tanaman pangan.
Implementasi program P2BN secara
luas, intensif, dan cenderung seragam akan mengundang reaksi dan umpan
balik ekologis yang secara potensial dapat menjadi penghambat
pencapaian sasaran jangka pendek usaha peningkatan produksi pangan. Reaksi
ekologi tersebut dapat mengakibatkan P2BN menjadi semakin tidak efektif dan
efisien dalam mencapai sasarannya yaitu peningkatan produksi pangan
berkelanjutan. Salah satu bentuk reaksi ekologis yang sekarang dihadapi
oleh petani adalah peningkatan letusan dan serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT) terutama hama wereng batang cokelat (WBC)
beserta penyakit virus yang ditularkan (virus kerdil rumput dan
virus kerdil hampa).
II. Identifikasi
Masalah Peningkatan Serangan Wereng Batang Cokelat
Beberapa
praktek yang dapat kami identifikai mempunyai peranan sebagai penyebab atau
pendorong peningkatan serangan WBC di beberapa sentra produksi padi adalah
sebagai berikut:
- Di banyak daerah terutama yang beririgasi teknis,
petani didorong meningkatkan indeks penanaman (IP 300 dan IP 400) yaitu
dengan menanam padi unggul berumur pendek sehingga dalam satu tahun dapat
ditanam padi tiga kali. Dengan strategi tersebut luas dan produksi
panen padi meningkat tetapi petani meninggalkan pola tanam
yang dianjurkan yaitu padi-padi-palawija. Karena harga dan
pemasaran hasil yang relatif lebih baik serta dukungan dan
bantuan pemerintah, petani terdorong lebih baik menanam padi dari pada
tanaman pangan lainnya. Penanaman padi terus menerus akan mendorong
peningkatan populasi dan serangan hama karena siklus kehidupan WBC dan
hama-hama lain tidak terputus.
- Penggunaan pupuk kimia terutama pupuk N oleh
petani semakin tinggi agar varietas padi unggul baik yang tahan hama
maupun peka hama (terutama padi hibrida) dapat mencapai hasil maksimal
pada kondisi kesuburan lahan yang semakin berkurang. Peningkatan
penggunaan pupuk N sangat mendorong peningkatan populasi WBC.
- Penanaman varietas peka terhadap OPT, khususnya
WBC. Tergiur oleh potensi produksi tinggi dan mengikuti anjuran Pemerintah
beberapa petani menanam varietas padi hibrida yang secara inheren sangat
peka terhadap hama dan penyakit padi terutama WBC dan penyakit virus
kerdil rumput. Lebih lanjut, banyak petani menanam varietas unggul lokal
yang mempunyai rasa enak, harga tinggi, dan disenangi konsumen tetapi peka
terhadap WBC, seperti Menthik dan Pandan Wangi. Perluasan penanaman
varietas peka di daerah endemis WBC akan meningkatkan potensi biotik dan
penyebaran populasi WBC di daerah yang lebih luas. Pada kondisi populasi
lapangan WBC yang tinggi dan eksplosif tidak ada lagi
varietas padi yang tahan terhadap wereng cokelat termasuk IR 64.
- Melihat kerusakan tanaman padi dan populasi WBC
yang tinggi, petani terpaksa mengusahakan pengadaan pestisida kimia. Namun
karena keterbatasan petani dalam permodalan, pengetahuan dan ketrampilan
tentang aplikasi pestisida kimia, serta terbatasnya jumlah bantuan
pestisida kimia dari pemerintah, maka praktek aplikasi pestisida
oleh petani menjadi tdak tepat termasuk tepat jenis, konsentrasi, dan
dosis. Petani terpaksa melakukan penyemprotan pestisida dengan dosis yang
kurang dari dosis anjuran. Secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa penyemprotan
pestisida yang tidak tepat dosis dan konsentrasi dapat mendorong
terjadinya resistensi dan resurjenisi WBC yang berakibat meningkatnya
populasi WBC lebih cepat dibandingkan sebelum dilakukan penyemprotan.
Banyak jenis formulasi insektisida yang pada saat ini diijinkan pemerintah
untuk dipasarkan dan digunakan pada tanaman padi telah dilaporkan terbukti
mendorong resurjensi WBC.
Kombinasi antara pola tanam yang tidak teratur, perluasan
penanaman varietas padi peka hama serta aplikasi pestisida kimia yang
tidak tepat serta kondisi cuaca khususnya curah hujan yang mendukung
merupakan beberapa masalah utama yang memicu peningkatan dan ancaman WBC
di beberapa propinsi dan daerah sentra padi akkhir-akhir ini.
III. Instruksi
Presiden No 3 Tahun 1986
Peningkatan serangan hama WBC
yang terjadi di beberapa propinsi di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa
Barat pada musim hujan 2009/2010 dan permulaan musim kemarau 2010 ini
mengingatkan kita akan kejadian letusan WBC sekitar 1985-1986
setelah Indonesia berswasembada beras pada 1984. Agar WBC dapat dikendalikan,
Inpres 3 tahun 1986 tentang Peningkatan Pengendalian Hama Wereng Coklat Pada
Tanaman Padi dikeluarkan. Inpres tersebut merupakan penerapan prinsip dan
teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) untuk WBC. Secara hukum Inpres
3/1986 sampai sekarang belum dicabut sehingga masih berlaku.
Ada banyak kebijakan penting dalam Inpres 3/1986 tersebut dan
enam diantaranya adalah:
- Pengendalian hama wereng cokelat dengan menggunakan prinsip
Pengendalian Hama Terpadu (PHT);
- Penggunaan pola tanam yang diarahkan ke pertanaman serentak,
pergiliran tanaman dan pergiliran varietas;
- Penananman varietas unggul tahan hama;
- Lima puluh tujuh (57) formulasi insektisida yang dapat
menimbulkan resurjensi, resistensi dan dampak lain yang merugikan
dilarang digunakan untuk tanaman padi;
- Pengamatan hama untuk mengetahui kemungkinan timbulnya hama secara
dini dan akurat perlu dilaksanakan antara lain dengan menambah jumlah
tenaga pengamat serta meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya melalui
kegiatan pelatihan PHT;
- Dalam rangka penyuluhan pertanian kepada penyuluh pertanian dan
kelompok tani/petani diberikan latihan untuk meningkatkan ketrampilannya.
Sebagai tindak lanjut Inpres 3 Tahun 1986 Pemerintah pada waktu itu
menambah jumlah Pengamat Hama dan Penyakit (PHP) dari sekitar
1500 orang menjadi 3000 orang, dua kali lebih banyak dibandingkan
jumlah PHP sebelumnya. Selanjutnya Pemerintah menyelenggarakan pelatihan
tentang PHT dalam bentuk SLPHT (Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu )
untuk melatih para penyuluh, pengamat hama dan penyakit serta petani tentang
prinsip dan penerapan PHT. Sampai saat ini lebih dari 2 juta petani padi telah
mengikuti SLPHT.
Implementasi Inpres 3/1986 dalam pengendalian WBC dilaksanakan oleh Pemerintah
sampai ke tingkat petani dan lapangan yang efektif dalam mengendalikan
WBC. Hal itu terbukti dengan luas serangan yang secara drastis menurun sejak
akhir 1980an sampai sekitar 5 tahun yang lalu. Dalam kurun waktu tersebut
serangan WBC maupun puso hanya terjadi dalam skala kecil karena masalah WBC dalam
skala luas dapat terkendali.
Dengan kondisi WBC yang terkendali
karena proses pengendalian alami maupun kegiatan perlindungan tanaman membuat
Pemerintah dan petani “melupakan “ Inpres 3/1986 yaitu dengan
mengembangkan kebijakan-kebijakan yang lebih beorientasi pada pemacuan produksi
padi jangka pendek serta mengabaikan beberapa prinsip dan kebijakan kewaspadaan
dan pemantauan WBC yang diamanatkan oleh Inpres 3/1986. Apabila kondisi
lingkungan memenuhi, populasi WBC dan luas serangan dapat meningkat secara
tajam dalam waktu yang singkat karena hama ini mempunyai kemampuan biotis yang
sangat tinggi dan migrasi dalam jarak jauh. Fenomena tersebut terjadi dalam dua
tahun terakhir di daerah endemis WBC seperti Kabupaten Klaten dan
berbagai daerah sentra produksi padi lainnya di pulau Jawa dan Sumatera.
IV. Potret Hasil Pengamatan Lapangan
Mei 2010
Untuk klarifikasi dan konfirmasi
dengan identifikasi masalah di atas pada tanggal 22 Mei 2010, kami mengamati
wereng cokelat di tujuh hamparan padi yang masuk wilayah Kabupaten Klaten,
Boyolali, dan Sukoharjo. Di samping melakukan pengamatan langsung, wawancara
dengan petani dan petugas pertanian juga dilakukan. Berdasarkan hasil
pengamatan yang kami lakukan, kami sampaikan beberapa pendapat serta
usulan pada Pemerintah mengenai langkah-langkah yang perlu
dilakukan oleh para pemangku kepentingan agar hama WBC dapat
dikendalikan sehingga tidak menjadi ancaman bagi swasembada beras.
- Luas pertanaman padi yang telah, sedang, dan di
prediksi akan mengalami puso mencapai ribuan hektar karena puso telah
terjadi sejak musim tanam sebelumnya (mulai Februari 2010). Ratusan hektar
sawah diberokan di Klaten karena petani tidak ingin mengambil risiko
tanamannya akan terserang kembali oleh WBC. Petani yang menanam lagi, saat
ini tanaman padinya juga terserang oleh WBC.
- Kedua, populasi WBC mencapai 20 ekor per rumpun
pada tanaman yang berumur sekitar 30 hari setelah tanam di hamparan
wilayah Klaten dan Boyolali. WBC tersebut sebagian besar di dominasi oleh
stadium dewasa dan sebagian kecil nimfa tua. Tanaman padi yang diamati
sudah mulai menguning dan tidak lama lagi akan terbakar. Cukup mengejutkan
di wilayah Gatak, Sukoharjo, populasi WBC mencapai >100 ekor per rumpun
pada tanaman padi yang masih hijau dan berumur sekitar 30 hari. Semua
rumpun padi terserang oleh WBC. Pada tanaman muda (sekitar 10 hari)
populasi WBC sangat tinggi, dan bahkan beberapa rumpun dipenuhi oleh imago
WBC sampai pada bagian pucuk daun. Populasi ini nampaknya merupakan
populasi migran karena semua bersayap dan tidak ada nimfa. Di sekitar
titik ini puluhan hektar tanaman padi yang sedikit lebih tua sudah
menguning dan sebagian terbakar.
- IR64 merupakan varietas yang banyak ditanam saat
ini, tetapi varietas ini yang notabene merupakan VUTW juga banyak
terserang. WBC sudah merupakan generasi yang kedua karena ditemukan imago
(dominan) dan sebagian nimfa tua. Hal ini mengindikasikan bahwa populasi
WBC yang ada di lapangan saat ini merupakan individu yang mampu
beradaptasi dengan mematahkan sifat ketahanan yang dipunyai oleh IR64.
- Insektisida masih banyak digunakan oleh petani
untuk pengendalian WBC maupun hama lainnya di pertanaman padi. Formulasi
insektisida yang digunakan sangat beragam. Hal ini selaras dengan jumlah
formulasi insektisida yang terdaftar untuk wereng cokelat juga sangat
banyak, misalnya untuk tahun 2008 terdaftar 218 formulasi insektisida yang
terdaftar untuk pengendalian hama-hama padi termasuk 78 formulasi untuk
pengendalian WBC. Formulasi insektisida tersebut banyak yang berasal dari
bahan aktif yang sama, termasuk kelompok piretroid sintetik yang dapat
memicu dan memacu resurjenis WBC.
- Predator di lahan yang diamati relatif rendah
baik dalam populasi maupun diversitas spesies yang ditemukan. Predator
yang dominan ditemukan adalah Lysosa.
- WBC juga ditemukan pada rumput di sekitar pertanaman
padi. Sawah yang diberokan berfungsi sebagai reservoir dan WBC akan
segera berpindah ke tanaman padi di sekitarnya.
V. Faktor yang Berkontribusi dalam
Peningkatan Populasi dan Serangan WBC
Faktor utama yang berkontribusi
terhadap meningkatnya populasi dan meluasnya serangan WBC dalam beberapa tahun
terakhir adalah potensi biotis WBC yang tinggi, faktor abiotik, dan kegiatan
operasional budidaya padi yang favorable (mendukung) berkembangnya
populasiWBC. Ketiga faktor tersebut dapat bekerja secara bersama maupun secara
sendiri-sendiri. Penjabaran lebih lanjut akan kami fokuskan pada faktor
terakhir.
VUTW masih cukup banyak ditanam oleh
petani, misalnya IR64, tetapi varietas lain yang tidak tahan terhadap WBC (Non
VUTW) juga banyak ditanam di berbagai sentra produksi padi bahkan di
daerah-daerah yang sudah diketahui sebagai daerah endemik. Varietas Non VUTW
ini pada umumnya adalah varietas lokal atau hibrida yang rentan terhadap semua
biotipe WBC. IR64 yang mempunyai gen ketahanan juga mati karena serangan WBC.
Sangat mungkin populasi WBC yang ada saat ini di lapangan merupakan populasi
yang telah mampu beradaptasi dan berkembang dengan mematahkan gen ketahanan
yang ada pada IR64. Kombinasi antara ketersedian varietas peka yang dapat
digunakan sebagai tempat hidup WBC berbagai biotipe dan munculnya biotipe baru
yang mematahkan VUTW yang ada saat ini memberikan ekosistem yang kondusif bagi
berkembangnya WBC.
Pada kenyataannya insektisida masih
banyak digunakan untuk pengendalian WBC maupun hama padi lainnya. Sudah sangat
dipahami bahwa penggunaan insektisida yang tidak tepat menyebabkan berbagai
dampak yang tidak diinginkan, diantaranya resistensi dan resurjensi. Hasil
penelitian sudah banyak yang mendokumentasikan kemampuan populasi WBC
untuk menjadi tahan terhadap berbagai jenis insektisida. Insektisida sama
yang dipakai secara terus menerus akan menyebabkan munculnya populasi yang
resisten (tahan) terhadap insektisida dalam waktu yang relatif singkat.
Penelitian kami di laboratorium menunjukkan bahwa tidak lebih dari enam bulan
populasi WBC sudah bisa menjadi resisten terhadap insektisida tertentu.
Resurjensi juga dipicu oleh digunakannya inseketisida yang berspektrum luas dan
digunakan tidak sesuai dengan dosis/konsentrasi rekomendasi. Mempertimbangkan
pengalaman sebelumnya dan kegiatan pertanian padi yang kita praktekan saat ini,
resistensi dan resurjensi dapat juga mempunyai kontribusi terhadap meningkatnya
populasi WBC di beberapa daerah akhir-akhir ini.
V. Usulan Tindak Lanjut
Fakta tentang letusan populasi dan
serangan WBC pada akhir-akhir ini serta pengalaman-pengalaman selama puluhan
tahun dalam menangani hama ini memberikan pelajaran bagi semua pihak bahwa
kebijakan, pengetahuan dan ketrampilan tentang pengendalian WBC telah tersedia
dan hasilnya efektif bila dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten
oleh semua pemangku kepentingan. Berbagai kepentingan mempengaruhi kegiatan
pengendalian perlindungan tanaman, khususnya pengendalian WBC, sehingga
kebijakan PHT WBC tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya. Berikut kami usulkan
kembali beberapa kebijakan yang perlu dilakukan oleh Pemerintah agar WBC tidak
lagi menjadi ancaman bagi kelestarian swasembada pangan..
1. Penerapan PHT secara benar
Solusi terbaik adalah kembali
menerapkan prinsip-prinsip PHT secara benar dan tepat seperti diamanatkan oleh
Inpres 3/1986 tentang Peningkatan Pengendalian Hama Wereng Coklat pada Tanaman
Padi, UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan PP No 6 Tahun
1995 tentang Perlindungan Tanaman. Agar proses pengendalian WBC secara alami
dapat berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis, penanaman
varietas tahan WBC biotipe lokal, pergiliran tanaman, penanaman serentak, serta
pembatasan penggunaan pestisida kimia merupakan strategi utama pengendalian
WBC. Bila pestisida kimia terpaksa dilakukan karena populasi WBC telah
melampaui ambang kendali maka aplikasi harus dilakukan secara tepat guna yaitu
tepat jenis, tepat dosis, tepat cara, tepat sasaran, tepat sasaran, tepat waktu
dan tepat tempat.
2. Pengendalian skala luas
Di samping pengelolaan WBC dengan ecosystem
based approach seperti yang telah dipelajari petani di SLPHT juga
perlu penanganan dalam skala yang lebih luas (areawide approach).
Pendekatan kedua merupakan komplemen terhadap yang pertama dan ditujukan untuk
mengurangi sumber inokulum dalam skala yang luas. Pendekatan pertama, petani
berperan lebih aktif dalam proses pengambilan keputusan pada aras lokal,
sedangkan pendekatan kedua lebih menonjolkan peran pemerintah pusat maupun
daerah sebagai fasilitator dan koordinator pelaksanaan kegiatan pengendalian
secara bersama. .
3. Perbaikan metode deteksi dan pengamatan OPT
Teknologi yang ada saat ini yang
dirakit sejak diterbitkannya Inpres 3/1986 diyakini masih efektif untuk mengelola
WBC selama satu dengan yang lain tidak saling bertentangan atau beresiko
terhadap fungsi pengendalian alami. Kunci keberhasilan dan perbaikan yang
diperlukan terletak pada kemampuan kita dalam mendeteksi populasi yang
berkembang menuju outbreak dan mengambil tindakan dengan menggunakan
teknologi yang tepat.
Metode sampling dan pengamatan OPT
merupakan perangkat esensial dan metode yang akurat akan memberikan informasi
yang merepresentasikan fakta yang ada. Metode pengamatan yang saat ini
digunakan merupakan karya monumental beberapa dekade yang lalu dan perlu untuk
di revisit untuk menghilangkan kerancuan dalam pemahaman terhadap
pedoman yang ada, penyesuaian dengan platform perlindungan tanaman saat
ini, dan mengakodasi berbagai keperluan domestik maupun internasional
(ekspor).
Jumlah petugas pengamat hama atau
POPT (Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman) terbatas (3268 petugas)
dan akan semakin berkurang jumlahnya karena sebagian besar sudah dan
sedang memasuki masa purna tugas. Kebijakan penambahan petugas POPT
sebanyak 1253 THL (Tenaga Harian Lepas) akhirnya tidak dapat diteruskan.
Keterampilan petugas pengamat juga memegang peran utama dalam memperoleh data
yang akurat. Saat ini setiap POPT bertanggungjawab untuk melakukan pengamatan
OPT di satu atau dua wilayah kecamatan. Secara teknis statistik wilayah
pengamatan seluas itu bagi seorang POPT tidak akan dapat
menjamin akurasi dan kepercayaan data hasil pengamatan. Dengan demikian, data
yang terkumpul tentang berat dan luas serangan OPT padi selama ini diragukan
kesahihannya..
Dari aspek pendampingan petani dan
kelompok tani di tingkat desa, kami lihat adanya ”kejanggalan struktural”
antara tiga petugas pertanian lapangan yaitu POPT, PPL, dan mantri tani.
Sesama petugas fungsional tetapi luas pewilayahannya sangat berbeda, satu POPT
untuk satu atau dua kecamatan dan satu PPL untuk satu desa. Perlu
dipertimbangkan apakah tidak mungkin konsep ‘three for one’ yang saat
ini dilaksanakan diganti dengan ‘one for all’ dalam arti POPT melaksanakan
tugas pengamatan POPT dan juga penyuluhan, demikian juga PPL melakukan tugas
penyuluhan dan juga melakukan pengamatan POPT. Bila hal ini dapat dilakukan
Pemerintah dapat meningkatkan kualitas pendampingn petani serta
mengurangi jalur birokrasi di tingkat bawah dan menjamin action
dapat cepat dilaksanakan.
4. Peninjauan kebijakan registrasi pestisida padi
Perbaikan dalam sistem registrasi
pestisida sangat diperlukan, khusus untuk registrasi pada tanaman padi.
Studi tentang resurjensi WBC sudah menjadi syarat dalam proses pendaftaran.
Namun, mengingat kompleksitas mekanisme resurjensi maka kriteria yang digunakan
seperti varietas padi yang digunakan, dosis dan konsentrasi aplikasi,
serta lokasi percobaan perlu ditinjau kembali. Hal yang sama juga
diperlukan untuk studi terkait dengan resistensi. Analisis risiko perlu
diterapkan dalam proses pendaftaran baik risiko bagi hama target, hama non
target maupun kompleks musuh alami yang ada dalam ekosistem padi. Otoritas
pendaftaran dan perijinan pestisida di Kementerian Pertanian agar mempunyai
pendekatan dan prinsip yang sama dalam memberikan ijin pendaftaran dan
penggunaan pestisida dengan lembaga yang bertanggungjawab dalam
penggunaan pestisida di lapangan seperti Ditjen Tanaman Pangan, Ditjen
Hortikultura, dan Ditjen Perkebunan.
5. Pengembangan varietas baru
Pengembangan varietas baru yang
mempunyai ketahanan terhadap WBC (biotipe baru), termasuk yang menggunakan
teknologi hibrida, perlu di speed up, dan manajemen VUTW yang telah ada
perlu dilakukan untuk memperpanjang masa hidup.
6. Monitoring biotipe dan resistensi WBC
Dari hasil pengamatan lapangan
terlihat bahwa varietas IR 64 yang mempunyai sifat resisten terhadap
WBC telah terpatahkan sifat ketahanannya, dan hal ini mengindikasikan
bahwa telah terjadi perubahan biotipe WBC. Kegiatan monitoring biotipe
WBC pernah dilakukan beberapa tahun diusulkan agar diaktifkan kembali.
Berdasarkan hasil mapping biotipe WBC di suatu daerah dapat
ditentukan jenis VUTW yang sebaiknya ditanam di suatu daerah pada
musim tertentu.
Informasi resistensi populasi WBC di
lapangan terhadap berbagai insektisida diperlukan karena hal ini dapat
digunakan sebagai konsideran dalam proses registrasi insektisida baru maupun
ijin perpanjangan untuk insektisida yang telah terdaftar.